Selasa, 28 Desember 2010

Raam Jethmal Punjabi

Raja Penjual Mimpi Bertangan Dingin

Perjuangannya dimulai dari titik nol. Dia raja sinetron penjual mimpi bertangan dingin. Dia dipuji sebagai penyelamat industri film Indonesia, di sisi lain ia dianggap menjual mimpi. Tapi ia konsisten dengan apa yang dikerjakannya. Kota Pahlawan memberinya banyak kenangan dan inspirasi untuk meraih sukses.

Kota Surabaya di pertengahan tahun 1950-an, akan terus terpatri dalam ingatan seorang laki-laki keturunan India. Tentang seorang bocah kecil belasan tahun bernama Raam yang menyelinap ke dalam

sebuah bioskop untuk memuaskan kegandrungannya menonton film. Sang penjaga bioskop yang baik membantu menyelundupkannya masuk ketika lampu-lampu sudah dipadamkan dan membantunya keluar sebelum lampu-lampu menyala kala film usai.

Laki-laki itu, Raam Punjabi, adalah si bocah yang gandrung film. Kini, ia tak lagi harus menyelundup diam-diam hanya untuk menonton film-film yang disukainya. Dialah yang kini disebut-sebut
merajai dunia sinetron di televisi. Berbagai film dan sinetron yang sukses lahir dari tangan dinginnya.

Diakuinya, ketertarikan anak ketiga dari tujuh putra-putri pasangan Jethmal Tolaram Punjabi dan Dhanibhai Jethmal Punjabi ini pada dunia perfilman sudah dirasakannya sejak ia masih kecil. Hobinya yang paling menonjol tentu saja menonton film dan ia punya kebiasaannya keluar masuk bioskop.

Dalam beberapa hal, persahabatan itu seperti cerita film “Cinema Paradiso” karya Tornatore, sebuah film indah tentang kenangan. Bedanya, di dalam “Cinema Paradiso”, persahabatan terjalin antara si bocah dan proyeksionis, sedangkan pada Raam kecil dengan penjaga pintu.

Raam pun berkisah, ”Pernah imbalannya saya boleh menonton, tetapi si penjaga pintu pinjam sepeda saya. Eh, sampai film selesai pukul dua belas malam, dia tidak kembali. Saya pulang ke rumah dimarahi Ayah.”

Tentu saja hal itu tidak membuatnya kapok. Ia kembali pergi ke bioskop, menemui sahabatnya si penjaga pintu dan menyelundup ke dalam bioskop setelah lampu padam.
Raam mengenang masa kecilnya di Surabaya sebagai masa yang indah dan penuh romantisme. Rumah orangtuanya terletak di kawasan Pasar Besar. Rumah itu merangkap toko ayahnya. Di lantai bawah, sang ayah berjualan karpet. Raam juga masih ingat, di masa itu masih ada trem atau kereta listrik sebagai alat transportasi yang digemari masyarakat di kotanya.
 
Pengalaman yang selalu membuatnya geli selain menonton bioskop diam-diam adalah mencuri mangga yang pohonnya berada di halaman sebuah rumah sakit. Kesukaannya pada film juga disalurkannya dengan ikut serta menonton film gratis yang diputar khusus untuk tentara.

Pencipta tren

Raam Jethmal Punjabi lahir di Surabaya, 6 Oktober 1943.
Awalnya ia tidak serta merta berkecimpung di dunia perfilman. Dari tahun 1962-1963, ia bekerja di sebuah perusahaan tekstil. Pada tahun 1964 ia merintis sebuah usaha impor tekstil sampai pada akhirnya pada tahun 1969 ditinggalkannya.

Pada tahun 1967, Raam bersama dua kakaknya Dhammoo Punjabi dan Gobind Punjabi mendirikan perusahaan importir film, PT Indako Film dengan modal Rp 30 juta. Tiga tahun kemudian, ia mendirikan PT Panorama Film (1971-1976) yang bersama PT Aries Internasional Film memproduksi film “Mama” karya sutradara Wim Umboh.

Film yang dibuat tahun 1972 itu merupakan film Indonesia pertama yang menggunakan seluloid 70 milimeter, tapi kurang laku ketika dilempar ke pasar. Tak putus asa, Raam kembali memproduksi film “Demi Cinta” yang dibintangi Sophan Sophiaan dan Widyawati. Lagi-lagi film produksi keduanya ini termasuk biasa-biasa saja dalam peredarannya. Namun bintang terang menyinarinya saat memproduksi film ketiga berjudul “Pengalaman Pertama.” Film ini dibintangi Roy Marten, Yatie Octavia, dan Robby Sugara.

Saat ini Raam Punjabi menjabat sebagai Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri & Festival di Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Ia dikenal bisa membaca selera pasar dan menjadi trend setter perfilman. Pada tahun 1980-an ketika kondisi perfilman Indonesia sedang terpuruk, Raam malah sukses menelurkan film komedi di jagat perfilman Indonesia dengan menampilkan bintang komedi pada saat itu trio Warkop (Warung Kopi) yaitu Dono, Kasino dan Indro. Malah sejak itu film komedi menjadi tren dan banyak produser mengekor membuat film-film komedi.

Tahun 1981, Raam mendirikan PT Parkit Film. Dan dalam jangka waktu 17 tahun karirnya sebagai produser, ia sudah memproduksi lebih dari 100 film. Bahkan, sekitar tahun 1989 kala kondisi perfilman Indonesia benar-benar hancur, Raam tidak kehilangan akal. Dengan segala daya kreatifnya, ia segera beralih ke dunia sinetron yang pada saat itu baru dikenal sebagai jenis tontonan baru.
Kebetulan, di saat hampir bersamaan muncul stasiun televisi swasta pertama yaitu RCTI.

Bagi Raam yang jeli, hal itu merupakan peluang yang baik bagi terobosannya. Terbukti kemudian, serial sinetron komedi “Gara-Gara”, yang dibintangi Lydia Kandou dan Jimmy Gideon yang diproduksinya sukses. Melambungkan kembali nama Lydia Kandou dan menambah ketenaran Jimmy Gideon tidak hanya sebagai pelawak, tetapi juga pemain sinetron komedi.

Kesuksesan demi kesuksesan mendorongnya mendirikan rumah produksi PT Tripar Multivision Plus dengan modal Rp 250 juta pada tahun 1990.
Rumah produksi ini juga memproduksi sinetron-sinetron yang sukses digemari masyarakat.

Hingga tahun 2000-an tidak ada yang bisa menyaingi kebesaran Raam Punjabi dalam industri hiburan televisi, terutama film dan sinetron. “Film dan sinetron di Indonesia di bawah bayang-bayang keluarga Punjabi, dengan Raam yang berada di singgasana”, kata S. Sinansari Ecip dalam resonansinya di harian Republika, 28 Maret 2000.
Pada tahun 2004, Raam Punjabi menerbitkan biografinya yang berjudul “Panggung Hidup Raam Punjabi.” Buku itu memuat begitu banyak pengalamannya sampai menjadi sukses sebagai raja sinetron seperti sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar