Kamis, 12 Mei 2011

Karakteristik Film Prancis

Pernahkah anda menonton film Prancis?

Begitu mendengar kalimat film Prancis, orang biasanya tertuju pada hal-hal negatif tentang percintaan dan vulgar. Tapi sebenarnya itu bukanlah ciri film Prancis yang sesungguhnya. Buktinya, tanggal 30 April- 1 Mei kemarin ada sebuah Festival Sinema Prancis yang ke-16 di bioskop empire XII BIP Bandung. Tiketnya gratis dan tidak ada satupun film yang berbau vulgar, aman!


Hari pertama, sepulang sekolah saya “mampir” dulu ke BIP. Tapi sayang, rupanya saya kehabisan tiket. Begitu juga dengan keesokan harinya, saya kehabisan tiket film juara di Bandung. Judulnya “Les Mains en L’Air” (tangan di udara) yang merupakan cerita humor tentang anak yatim. Namun, akhirnya saya kebagian tiket juga, tapi filmnya kurang menarik. Judulnya Nѐnette, dokumenter tentang orang utan dari Kalimantan (atau orang Prancis bilang: “ulong utong” de Borneo).

Saat menonton film ini bisa dibayangkan betapa membosankannya. Alurnya sangat lambat, membuat siapapun “gereget” ingin film cepat mencapai puncak. Karena tidak sabar menunggu puncak, saya keluar studio di tengah pertunjukkan dan baris lagi untuk mendapatkan tiket film berikutnya, “Dernier Maquis” (semak terakhir).

Film ini menceritakan seorang Afro-Prancis yang baru menjadi muslim. Ia berada di suatu lingkungan kerja dekat bandara yang hampir semua pekerjanya orang muslim. Namanya Titi, dan ia adalah orang yang sangat sok tahu. Ia bahkan mencoba mengkhitan dirinya sendirinya sendiri dengan gunting! Linu saya melihatnya. Awal cerita banyak terselip humor-humor. Tapi alurnya sama seperti film Nѐnette tadi, lamban. Bahkan saya kira banyak adegan yang sebaiknya tak perlu ditampilkan karena hanya membuang-bung waktu saja.
Di puncak cerita, Titi semakin melunjak. Ia tidak setuju dengan terpilihnya Haji sebagai imam di mesjid yang baru dibangun Moa (bosnya). Kemudian Titi mengajak Jamil dan Bachir membuat mesjid “terbuka” di lahan sempit di sudut tempatnya bekerja. Akhirnya mereka semakin diluar kendali. Titi dan pengikutnya mengusir pekerja lain bahkan bosnya juga. Dan film pun ditutup dengan adegan Titi masih bekerja susah-payah di tempat kerjanya itu sampai larut malam.

GeJe, kalau anak muda bilang. Tapi inilah ciri khas film Prancis. Sangat berbeda dengan film Hollywood yang kisah-kisahnya terkesan mengada-ngada dan tak mungkin terjadi. Bagi orang yang belum terbiasa, menonton film Prancis dapat membuat dahi mengerut. Tapi sebenarnya film-film Prancis lebih banyak menampilkan unsur-unsur budaya masyarakat mereka, lewat persoalan nyata yang menjadi problem nyata dalam masyarakat Prancis. Para penonton bisa melihat bagaimana orang Prancis menjalani hidup dan bagaimana cara berpikir mereka. Sehingga film Prancis benar-benar mencerminkan karakter bangsa mereka.
Apakah film Indonesia sudah seperti itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar